Yang Lagi HOT!

Posted by : JIM Jumat, September 30, 2011

PENGERTIAN HADITS
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.


KLASIFIKASI HADITS
Hadis dilihat dari segi kualitasnya terbagi menjadi dua macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud. Hadis maqbul terbagi menjadi hadis shahih dan hadis hasan, sedang hadis mardud ada satu yaitu hadis dha’if. Berikut adalah skema pembagian hadis berdasarkan kualitasnya :
 
Pengertian dari masing-masing pembagian di atas, yaitu sebagai berikut :

      1. Hadis Maqbul       
Dalam bahasa kata maqbul artinya diterima. Hadis itu dapat diterima sebagai hujjah dalam Islam, karena sudah memenuhi beberapa kriteria persyaratan baik yang menyangkut sanad ataupun matan. Adapun menurut istilah, hadis maqbul adalah hadis yang unggul pembenaran pemberitaannya.
Keunggulan pembenaran berita itu mungkin pada proses awal adanya dua dugaan antara benar dan salah. Kemudian, karena adanya bukti-bukti atau alasan-alasan lain yang memperkuat atau yang mendukung pada salah satu dari dua dugaan tersebut, maka ia menjadi unggul. Dalam hal ini hadis maqbul adalah hadis yang mendapat dukungan bukti-bukti dan membuat unggul itu adalah dugaan pembenaran.
      2. Hadis Mardud
Mardud secara bahasa adalah lawan dari maqbul yaitu ditolak atau tidak diterima. Penolakan hadis ini dikarenakan tidak memenuhi beberapa kriteria persyaratan yang ditetapkan para ulama, baik yang menyangkut sanad seperti setiap perawi harus bertemu langsung dengan gurunya (ittishal as-sanad) maupun yang menyangkut matan seperti isi matan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan lain-lain. Secara istilah, hadis mardud adalah hadis yang tidak unggul pemberitaannya.
Hadis mardud tidak mempunyai pendukung yang membuat keunggulan pembenaran berita dalam hadis tersebut. Hadis mardud tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak wajib diamalkan, sedang hadis maqbul wajib dijadikan hujjah dan wajib diamalkan. Secara umum hadis mardud adalah hadis dha’if (lemah) dengan segala macamnya.

Seperti yang telah djelaskan tadi, hadis maqbul terbagi menjadi hadis shahih dan hadis hasan, sedangkan hadis mardud adalah hadis dha’if.

      a. Hadis Shahih
Hadis shahih adalah hadis yang sehat dan benar, tidak terdapat penyakit dan cacat. Secara istilah, hadis shahih adalah hadis yang mutthashil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhabith (kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadzdz) dan cacat (‘illat).
Dari definisi tersebut, hadis shahih mempunyai 5 kriteria, yaitu :
       1. Persambungan sanad
Artinya setiap perawi dalam sanad bertemu dan menerima periwayatan dari perawi sebelumnya baik secara langsung atau secara hukum dari awal sanad sampai akhirannya.
       2. Keadilan para perawi
Adil dalam bahasa adalah seimbang atau meletakkan sesuatu pada tempatnya, lawan dari zalim. Dalam istilah periwayatan, adil adalah orang yang konsisten (istiqamah) dalam beragama, baik akhlaknya, tidak fasik dan tidak melakukan cacat muru’ah.
Istiqamah dalam beragama artinya orang tersebut konsisten dalam beragama, menjalankan segala perintah dan menjauhkan segala dosa yang mnyebabkan kefasikan. Fasik artinya tidak patuh beragama, mempermudah dosa besar atau melanggengkan dosa kecil secara kontinu. Menjaga muru’ah artinya menjaga kehormatan sebagai seorang perawi, menjalankan segala adab dan akhlak yang terpuji dan menjauhi sifat-sifat yang tercela menurut umum dan tradisi.
       3. Para perawi bersifat dhabith
Para perawi memliki daya ingat hapalan yang kuat dan sempurna. Daya ingat dan hapalan kuat ini sangat diperlukan dalam rangka menjaga otentisitas hadis, mengingat tidak seluruh hadis tercatat pada masa awal perkembangan Islam. Atau jika tercatat, catatan tulisannya harus selalu benar tidak terjadi kesalahan yang mencurigakan.
        4. Tidak terjadi kejanggalan (syadzdz)
Syadz dalam bahasa berarti ganjil, terasing atau menyalahi aturan. Maksud syadzdz disini adalah periwayatan tsiqah (terpercaya yakni adil dan dhabith) bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah. Dengan demikian, jika disyaratkan hadis shahih harus tidak terjadi syadzdz, berarti hadis tidak terjadi adanya periwayatan orang tsiqah bertentangan dengan orang yang lebih tsiqah. Pengertian syadzdz ini mengecualikan, jika periwayatan seorang dha’if bertentangan dengan periwayatan orang tsiqah tidak dinamakan syadzdz, tetapi nanti disebut hadis munkar yang tergolong hadis dha’if.
        5. Tidak terjadi ‘illat
Secara bahasa arti ‘illat adalah penyakit, sebab, alasan atau udzur. Sedang arti ‘illat disini adalah suatu sebab tersembunyi yang membuat cacat keabsahan suatu hadis padahal lahirnya selamat dari cacat tersebut. Misalnya, sebuah hadis setelah diadakan penelitian ternyata ada sebab yang membuat cacat yang menghalangi terkabulnya, seperti munqathi’, mawquf, atau perawi seorang fasik, tidak bagus hapalannya, seorang ahli bid’ah dan lain-lain. Atau ternyata seorang perawi memursalkan hadis mawshul, memawshulkan hadis munqathi’, atau memarfu’kan hadis mawquf.
Contoh Hadis Shahih :
Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, ia berkata memberitakan kepada kami Musaddad, memberitakan kepada kami Mu’tamir ia berkata: Aku mendengar ayahku berkata: Aku mendengar Anas bin Malik berkata: Nabi saw berdoa:
Ya Allah sesungguhnya aku mohon perlindungan kepada Engkau dari sifat lemah, lelah, penakut, dan pikun. Aku mohon perlindungan kepada Engkau dari fitnah hidup dan mati dan aku mohon perlindungan kepada Engkau dari adzab kubur.

Macam-macam hadis shahih :
      1. Shahih lidzatih (shahih dengan sendirinya), karena telah memenuhi 5 kriteria hadis shahih sebagaimana definisi dan keterangan di atas.
       2. Shahih lighayrih (shahih karena yang lain), yaitu hadis hasan lidzatihi ketika ada periwayatan melalui jalan lain yang sama atau lebih kuat dari padanya.
Hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis shahih wajib diamalkan sebagai hujjah atau dalil syara’ sesuai dengan ijma’ para ulama hadis dan sebagian ulama ushul dan fikih. Hadis shahih lighayrih lebih tinggi derajatnya daripada hasan lidzatih, tetapi lebih rendah daripada shahih lidzatih. Namun demikian, ketiganya dapat dijadikan hujjah.

       b.      Hadis Hasan
Dari segi bahasa, hasan bermakna keindahan. Menurut istilah, hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit ke-dhabith-annya, tidak ada keganjilan (syadz) dan tidak ada ‘illat.
Kriteria hadis hasan hampir sama dengan hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabith-annya. Hadis shahih ke-dhabith-an seluruh perawinya harus sempurna, sedang dalam hadis hasan, kurang sedikit ke-dhabith-annya jika dibandingkan dengan hadis shahih. Ke-dhabith-an perawi hadis hasan nilainya memang kurang jika dibandingkan dengan perawi hadis shahih, karena ke-dhabith-an para perawi hadis shahih sangat sempurna, tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabith-an perawi hadis dha’if tentu belum seimbang, ke-dhabith-an perawi hadis hasan lebih unggul.
Contoh Hadis Hasan :
Hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari al-Hasan bin Urfah al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abi Hurairah, bahwa Nabi saw bersabda :
Usia umatku sekitar antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu.
Para perawi hadis di atas tsiqah semua kecuali Muhammad bin Amr, dia adalah shaduq (sangat benar). Oleh para ulama hadis nilai ta’dil shaduq tidak mencapai dhabith tamm sekalipun telah mencapai keadilan, ke-dhabith-annya kurang sedikit jika dibandingkan dengan ke-dhabith-an shahih seperti tsiqatun (terpercaya) dan sesamanya.

Macam-macam hadis hasan :
    1. Hasan lidzatih, adalah hadis hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala kriteria dan persyaratan hadis hasan sebagaimana definisi dan penjelasan di atas.
        2. Hasan lighayrih, yaitu hadis dha’if jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat. Atau hadis dha’if jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedha’ifan bukan karena fasik atau dustanya perawi.
Hadis hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya di bawah hadis shahih. Semua fuqaha, sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang yang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadis (musyaddidin). Bahkan sebagian Muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin) memasukkannya ke dalam hadis shahih, seperti al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.

      c. Hadis Dha’if
Hadis dha’if adalah bagian dari hadis mardud. Dari segi bahasa, dha’if berarti lemah. Kelemahan hadis dha’if ini karena sanad dan matan-nya tidak memenuhi kriteria hadis kuat yang diterima sebagai hujjah. Secara istilah, hadis dha’if adalah hadis yang tidak menghimpun sifat hadis hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi, atau hadis yang tidak menghimpun sifat hadis shahih dan hasan. Jadi, hadis dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi sebagian atau semua persyaratan hadis shahih atau hasan, misalnya sanad-nya tidak bersambung (muttashil), para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad atau matan (syadzdz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘illah) pada sanad dan matan.
Contoh Hadis Dha’if :
Hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi melalui jalan Hakim al-Atsram dari Abu Tamimah al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda :
Barangsiapa yang mendatangi pada seorang wanita menstruasi (haid) atau pada seorang wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
      Dalam sanad hadis di atas terdapat seorang dha’if yaitu Hakim al-Atsram yang dinilai dha’if oleh para ulama.
Hadist dha’if tidak identik dengan hadis mawdhu’ (hadis palsu). Di antara hadist dha’if terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedang hadist mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadis dha’if sekalipun tanpa menjelaskan kedha’ifannya dengan dua syarat, yaitu tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah dan tidak menjelaskan hukum syara' yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi berkaitan masalah mau’izhah, targhib wa tarhib (hadis-hadis tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.
Mengenai pengamalan hadist dha’if, para ulama berbeda pendapat dalam pengamalan hadist dha’if. Perbedaan pendapat itu dibagi menjadi 3 pendapat :
      1. Hadist dha’if tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (fadhail al-amal) atau dalam hukum sebagaimana yang diberitakan oleh Ibnu Sayyid an-Nas dari Yahya bin Ma’in. Pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu al-Arabi, al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazam.
     2. Hadist dha’if dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-amal atau dalam masalah hukum, pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadis dha’if lebih kuat daripada pendapat para ulama.
       3. Hadist dha’if dapat diamalkan dalam fadhail al-amal, mau’izhah, targhib (janji-janji yang menggemarkan) dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani :
          a. Tidak terlalu dha’if, seperti diantara perawinya pendusta (hadis mawdhu’) atau dituduh dusta (hadis matruk), orang yang daya ingat hafalannya sangat kurang, dan berlaku fasik dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadis munkar).
            b. Masuk ke dalam kategori hadis yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadis muhkam (hadis maqbul yang tidak terjadi pertentangan dengan hadis lain), nasikh (hadis yang membatalkan hukum pada hadis yang sebelumnya), dan rajih (hadis yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).
               c. Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadis dari Nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.
  


{ 2 Comments... read them below or Comment }

  1. sadurannya cukup bermanfaat

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah jika bermanfaat...

    terimakasih sudah berkunjung...

    BalasHapus

- Copyright © ShadowZ Space - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -