- Back to Home »
- Corat Coret Curhat , Renungan »
- DARI TITIK MENJADI TERLUKIS
Posted by : JIM
Minggu, Maret 10, 2013
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Sebenarnya kali ini ingin kali ini ingin melanjutkan postingan
sebelumnya (bisa di baca di sini) tentang kebohongan yang banyak terjadi pada
system pendidikan kita. Tetapi, terlebih dahulu, kali ini saya ingin memulainya
dengan sebuah kisah.
~~Alkisah, terdapat sebuah kerajaan yang dipimpin oleh raja yang
bijaksana. Suatu hari, raja ini ingin mengetahui sejauh mana kesadaran para
rakyatnya. Dan akhirnya titah rajapun dikumandangkan dengan alasan untuk
menyambut gerhana bulan yang akan terjadi malam hari itu. Sang raja menyediakan
sebuah kolam besar yang kosong di depan istana dan memerintahkan kepada seluruh
warganya agar mengisi kolam tersebut dengan segelas madu untuk tiap-tiap kepala
keluarga pada tengah malam nantinya.
Salah seorang dari warganya ada yang berpikir, “Ah, nanti malam gelap
gulita saja kok, enggak akan ada yang tahu deh nanti malam apa yang ada di
dalam cangkirku. Lagipula, walaupun aku menuangkan HANYA segelas air minum
biasa, tetap itu akan bercampur dengan ribuan liter madu dari warga lainnya,
dan alhasil kolam tersebut tetap akan terlihat penuh dengan madu. Toh HAL
SEKECIL ITU TIDAK AKAN MENGUBAH SESUATU YANG BESAR DAN YANG LEBIH BERPENGARUH.”
Tetapi, keesokan harinya, ketika raja mencoba untuk memeriksa kolamnya,
betapa terkejutnya ia, karena ternyata kolamnya dipenuhi air bening biasa,
bukan madu seperti yang ia perintahkan. Ternyata, seluruh warganya berpikiran
sama dengan seorang warga itu tadi.~~
Sudah sering mendengar bukan kisah semacam itu? Ya, sebuah kisah yang
seharusnya bisa menginspirasi dan menyadarkan kita, bahwa hal yang sejatinya
kita anggap sebagai hal kecil, jika itu dilakukan oleh banyak orang, maka
hasilnya pun akan terlihat. Hal senada mungkin juga sering atau banyak warga
yang melakukan. Sebagai contohnya, misalnya kita ingin membuang sebuah sampah,
terlebih lagi jika hanya SEBUNGKUS permen, saat akan membuangnya, kita akan
berpikir, “Apakah sebungkus permen yang akan kita buang di sembarang tempat
dapat menyebabkan pencemaran ataupun banjir?” Mungkin banyak yang akan menjawab
TIDAK. “Dan apakah tindakan ini akan menyebabkan orang lain menirunya?” Banyak
juga yang akan berkata TIDAK. “Serta apakah tindakan ini akan dilihat oleh
orang lain dan akan mendidik orang lain (terlebih anak kecil) untuk membuang
sampah sembarangan?” Pasti akan banyak yang menjawab TIDAK.
Dan alhasil, apa jadinya? Ya, seperti di Indonesia sekarang ini, banyak
sekali kasus rumah yang tenggelam akibat banjir. Apa penyebabnya? Kita tidak
bisa menyalahkan siapapun kecuali diri kita sendiri. Ya, diri kita yang
berpikir bahwa tindakan kecil itu tidak akan mengubah apapun. Tetapi, itulah
hasilnya. Seperti yang sering ku katakan melalui blog ini, mulailah sesuatu
dari hal terkecil dahulu, karena bisa jadi hal kecil tersebut dapat membuat
sebuah perubahan besar. Sama halnya ketika kita ingin membuat sebuah lukisan
indah, bukankah kita harus memulainya dari satu buah titik kecil?
Nah… sekarang kembali lagi ke awal, apakah hubungan antara cerita-cerita
saya tersebut dengan system pendidikan kebohongan kita (seperti yang saya
katakan bahwa akan melanjutkan postingan sebelumnya)?
Ya, hubungannya adalah ‘pikiran dan anggapan kecil kita’. Bagi para
pembaca yang merupakan seorang pelajar ataupun yang pernah ‘makan’ bangku
sekolahan pasti sadar dan tahu. Ya, kebohongan, khususnya dalam hal ini adalah
menyontek, adalah sesuatu yang dianggap pelajar biasa dan merupakan
‘adat-istiadat’. Aku sering mendengar hal semacam itu dari temanku, ketika
ditanyai tentang menyotek, banyak yang akan menjawab, “Sudah adat.” Bahkan baik
itu mengatakannya jelas-jelas pada para GURU. Tetapi, reaksi para guru
menganggap hal itu sesuatu yang biasa dan sepele. Makanya, bahkan para murid
sekarang ini, tidak lagi memiliki RASA MALU saat MENYONTEK. Semuanya itu
dianggap biasa dan tidak ada beban.
Begitu pula para guru. Aku sering mendengar hal semaca ini dari guru,
“Paling-paling kalian juga gak ada yang mengerjakannya sendiri, alias saling
menyontek.” Ya, sebuah pemikiran kecil dari para guru yang mungkin dalam ilmu
psikologi, hal semacam ini akan menumbuhkan pemikiran kepada para muridnya
bahwa ‘menyontek adalah hal biasa’. Jadi, perilaku curang ataupun pendidikan
kebohongan ini sudah diajarkan dan ditanamkan kepada para murid oleh para guru
sejak kecil.
Dan juga, hal yang paling menjengkelkanku adalah ketika ujian. Ketika
ujian, aku akan lebih suka dengan guru yang ketat dan dianggap para murid
lainnya sebagai ‘guru kejam’, karena tidak memberikan kesempatan kepada para
murid untuk melakukan kecurangan. Tetapi, aku lebih suka guru seperti itu,
daripada guru yang sukanya ‘gupuhi’ (membuat tergesa-gesa). Sayangnya, dari
waktu ke waktu ‘guru kejam’ makin lama makin menyusut sementara ‘guru gupuhi’
semakin merajalela.
Membuat tergesa-gesa bagaimana? Huft…. Yah… sekarang ini ketika ujian
seringkali seorang guru pengawas menyuruh para murid untuk segera mengumpulkan
jawaban ujiannya, padahal waktu ujian
tergolong masih lama, sekitar 15-30 menit lagi. Tetapi, mesti kalo waktu sudah
kurang 30, terlebih kalau sudah 15 menit lagi, pengawasnya mesti bilang, “Ayo,
cepat kumpulkan, NYONTOH KAYAK BEGITU SAJA KOK LAMANYA.” Argh…. Kata-kata yang
membuatku merasa sangat jengkel. Atau juga biasanya, “Dari tadi tinggal nyontoh
sebelahnya saja kok.” Apalagi kalau sampai keluar kata seperti ini, “Cepat!
Kalau enggak segera mengumpulkan saya tinggal loh. Enggak saya terima lagi.”
Padahal saat saya melihat jam, waktu masih kurang sekitar 10-15 menit. Dan
lagi, selama mengawas ujian, banyak para guru yang tidak melaksanakan AMANAH
yang diberikan. Ya, ditinggal keluyuran, ngerumpi, dan sebagainya.
Argh…. Jelas-jelas para guru sudah mendidik para muridnya untuk
berbohong dengan menganggap bahwa semua murid itu melakukan kebohongan, alias
tidak ada yang jujur. Ya, sebuah pemikiran kecil yang membuat para murid sudah
tertanam sebuah pemikiran untuk berbohong. Terlebih jika menyuruh tergesa-gesa
seperti itu, para murid yang sejatinya ada NIAT untuk jujur, tetapi karena
konsentrasi diganggu untuk menyegerakan ujian itu, pada akhirnya niat jujur itu
mulai pudar, dan berganti pemikiran ‘yang penting bisa selesai dengan nilai
memuaskan’, jujur atau enggak, itu masalah belakangan.
Yah… dua postingan terakhirku ini, khususnya aku tujukan kepada para
guru, untuk… tolonglah didik para murid untuk melakukan kejujuran. Ingatlah,
masa depan generasi bangsa ini khususnya ada di tangan kalian para guru. Sekarang
ini, cobalah kita lihat bangsa ini, dipenuhi oleh kebohongan. Lihatlah, betapa
banyaknya kekayaan negeri ini yang tidak bisa dieksplorasi hanya karena untuk
memenuhi kebutuhan seorang individu ataupun golongan tertentu. Karena apa? Ya,
ini semua karena kebohongan yang merajalela. Uang suap, korupsi, dan berbagai
macam kebohongan semacam itu, yang sekarang ini perlahan mulai dianggap biasa.
Ini semua karena apa? Ya, pendidikan yang sejak awal sudah ditanamkan untuk
melakukan kebohongan dan kecurangan.
So, aku memohon, khususnya kepada para guru, untuk tidak menganggap
bahwa semua murid melakukan kebohongan, dan cobalah untuk membuat mereka sadar
akan pentingnya sebuah kejujuran. Tetap percayalah, dalam lautan kebohongan
ini, masih ada segelintir orang-orang yang berusaha segenap tenaga untuk
melakukan kejujuran. Walau itu hanya 1 dari 1000.000 orang, tetapi tetap
percaya dan hargailah. Jangan biarkan semangat untuk melakukan kejujuran itu
luntur, dan bahkan dilunturkan oleh seorang guru yang seharusnya bisa menjadi
teladan yang baik.
Mulailah segala sesuatu dari hal kecil dahulu, yaitu kejujuran…
بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
Semoga kejujuran bisa ditegakkan…
(Dan aku yakin, jika kejujuran itu sudah dapat ditegakkan, maka akan
terlukislah sebuah keindahan dalam kehidupan ini.)
alasan yg naif dr guru2 yg membantu muridx menyontek adalah cz rasa sayang, pdhal ini sama aja mengajari anak tuk tdk jujur..
BalasHapushttp://rohis-facebook.blogspot.com/2011/06/tentang-hukum-curang-dalam-ujian.html
wuah....
BalasHapusya, bener nih sob...