- Back to Home »
- Corat Coret Curhat , Islamic , Renungan , Sudut Pandang-Ku »
- KATA SIAPA RAMADHAN ISTIMEWA?
Posted by : JIM
Selasa, Mei 31, 2016
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...
Tidak terasa, waktu berlalu begitu cepat, tiba-tiba saja kita sudah berada di penghujung bulan, dan sebentar lagi kita akan kembali menemui saat-saat yang istimewa. Tentunya, khususnya bagi umat Muslim. Apa itu? Tentu sobat pengunjung di sini sudah memahami apa yang saya maksud. Tidak lain dan tidak bukan, sesuatu istimewa yang saya maksud tersebut itu adalah bulan Ramadhan. Tetapi, benarkah bulan Ramadhan merupakan suatu bulan yang istimewa? Kata siapa bulan Ramadhan adalah bulan yang istimewa? Dan kenapa disebut sebagai bulan yang istimewa?
Tentu, jika pertanyaan-pertanyaan ini menjurus kepada kebanyakan umat Muslim, sebagian besar akan menjawab kurang-lebih seperti berikut.
Apakah bulan Ramadhan merupakan suatu bulan yang istimewa?
Ya, tentu saja.
Kata siapa bulan Ramadhan adalah bulan yang istimewa?
Sebagian besar pasti akan menjawab kata (firman) Allah dan (sabda) Rasul-Nya yang mendasarkan jawabannya pada dalil pada Qur’an maupun Hadits.
Dan kenapa disebut sebagai bulan yang istimewa?
Dan lagi-lagi, sebagian besar umat Muslim akan mensandarkan jawabannya pada dalil Qur’an maupun hadits.
“Bulan Ramadhan telah tiba menemui kalian, bulan (penuh) barokah, Allah wajibkan kepada kalian berpuasa. Pada bulan itu pintu-pintu langit dibuka, pintu-pintu (neraka) jahim ditutup, setan-setan durhaka dibelenggu. Padanya Allah memiliki malam yang lebih baik dari seribu bulan, siapa yang terhalang mendapatkan kebaikannya, maka sungguh dia terhalang mendapatkan kebaikan yang banyak.” (HR. Nasa’i dan Ahmad. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih At-Targhib no. 999)
Apakah hal tersebut salah?
Ya, enggak lah. Tentu pasti benar jawaban yang didasarkan pada dalil yang jelas. Namun, yang ingin saya diskusikan di sini memang pertimbangan tentang benar atau tidaknya keistimewaan bulan Ramadhan itu, tetapi bukan ‘menurut’ Allah, Rasul-Nya, dan sebagian besar hamba-hamba-Nya, melainkan menurut sudut pandang pribadi hati kita masing-masing.
Maksudnya apa?
Oke, akan saya perjelas. Suatu hal yang istimewa bagi kebanyakan orang, belum tentu istimewa bagi diri kita sendiri, bukan? Secara selera, persepsi, dan keinginan setiap individu tersebut berbeda-beda.
Contoh mudahnya, yaitu seorang presiden. Tentu, presiden itu merupakan orang nomer SATU bagi masyarakat dan bangsanya, seseorang yang sangat diistimewakan tentunya. Tetapi tentu, walau terlihat sebagai seseorang yang WOW, tidak menutup kemungkinan, masih ada saja segelintir orang yang menganggapnya sebagai orang biasa seperti masyarakat pada umumnya, atau bahkan ada yang sampai tidak menyukai ataupun membencinya.
Nah, jadi di sini, bisa kita andaikan bahwa ada tiga orang yang berbeda pendapat tentang status seorang presiden. Dan tentu saja, dari tiga pendapat yang berbeda ini, membuat seseorang tersebut akan berbeda pula dalam menyikapi presiden. Semisal, ada suatu kabar yang menggemparkan masyarakat bahwa presiden akan mengunjungi rumah dari ketiga orang ini di suatu hari. Tentunya, setelah mendengar kabar ini, jauh sebelum hari H kedatangan presiden, masing-masing dari tiga orang ini akan melakukan persiapan yang juga berbeda.
Orang pertama, yang menganggap presidennya sebagai istimewa, jauh-jauh hari dia sudah akan memperindah tampilan rumah dan suasananya, merancang berbagai rencana penyambutan, menyiapkan berbagai hidangan yang akan dijamukan, serta banyak hal lagi yang dipikirkannya agar kelak di hari H kedatangan presiden dia bisa menyambut presiden dengan begitu berkesan. Pasti saat itu, pikirannya was-was, harap-harap cemas, dan sangat menantikan akan hadirnya hari tersebut dengan perasaan berbunga-bunga.
Sedangkan orang kedua, yang menganggap presiden hanya seperti masyarakat pada umumnya, tentu akan menyambut kehadiran tamu istimewa ini selayaknya tetangga yang biasa bertamu ke rumahnya. Di hari-hari sebelumnya, ia tidak banyak memikirkan bagaimana nantinya ketika presiden bertamu. Ia tidak akan menanggapinya dengan serius, hanya menyiapkan hidangan dan hal-hal yang sekiranya perlu untuk menjamu tamu.
Namun, untuk orang ketiga yang membenci dan menganggap presiden sebagai biang dari kesengsaraan bangsa, akan bersikap sebaliknya dari orang pertama. Dia akan merasa sangat geram dengan kehadiran tamu istimewa ini. Bahkan mungkin dia akan merasa bahwa kehadiran tamu istimewa ini sebagai pertanda buruk dan kesialan. Sehingga jauh-jauh hari, dia akan berpikir keras bagaimana caranya agar presiden ini tidak jadi berkunjung ke rumahnya, atau bahkan lebih sadis, akan merencanakan tindakan berbahaya yang akan mengancam presiden. Atau setidaknya, minimal ia akan merencanakan untuk agar ketika hari H kedatangan presiden, dia tidak akan bertemu dengan presiden, sehingga mungkin ia akan merencanakan berpergian atau lain halnya, yang pasti agar dia tidak bertemu presiden di hari kedatangan tamu istimewa tersebut.
Presiden, yang dianggap sebagian besar bangsanya sebagai orang nomor SATU saja, terdapat setidaknya tiga sikap (atau bahkan lebih banyak) yang berbeda dalam menyikapi kehadirannya sebagai tamu istimewa. Nah, sekarang kita kembali lagi ke konteks pembicaraan pada artikel ini. Apalagi dengan bulan Ramadhan, yang tidak hanya dianggap sebagai bulan nomor SATU oleh sebagian besar kaum Muslimin, melainkan juga secara tegas disebut sebagai bulan istimewa oleh Allah dan Rasul-Nya. Tentu, tidak menutup kemungkinan, setidaknya akan ada tiga sikap yang berbeda pula. Ada yang menganggapnya sebagai bulan istimewa yan penuh berkah, sehingga ia menyikapinya dengan senang dan telah menyiapkan berbagai rencana jauh-jauh hari untuk menyambut kehadiran bulan suci nan istimewa ini. Tetapi, ada juga yang merasa biasa-biasa saja, kesehariannya saat mendekati bulan istimewa ini, biasa-biasa saja sebagaimana di hari-hari yang lain. Dan ada juga yang menganggapnya sebagai bulan yang sungguh mengekang dan memenjarakannya, karena di bulan tersebut ia merasa tidak bisa banyak berbuat seperti pada bulan-bulan lain, sehingga ia menyikapinya dengan perasaan jengkel, sebal, dan marah.
Kemudian, bagaimana dengan kita?
Walau Allah dan Rasul-Nya, beserta seluruh makhluk di langit dan bumi menganggapnya sebagai bulan yang istimewa, tetapi bagaimana dengan lubuk hati terdalam kita? Apakah juga menganggapnya sebagai bulan istimewa? Jika iya, sejauh mana persiapan dan rencana yang telah dimiliki sejauh ini? Sudah adakah sebuah perasaan berbeda di dalam lubuk hati kita yang menganggapnya sebagai sebuah bulan yang benar-benar istimewa? Jika tidak, maka mari pertanyakan iman kita.
Sekarang, kembali lagi saya pertanyakan, seperti apakah bulan Ramadhan bagi kita, apakah seperti orang ketiga, yang menganggapnya sebagai sebuah bulan penuh kesengsaraan? Ataukah seperti orang kedua, yang menganggap sama halnya dengan bulan-bulan lain? Ataukah sudah sampai pada tahap seperti orang pertama, yang bersama Allah, Rasul, dan orang-orang beriman, yang menganggapnya sebagai bulan istimewa nan penuh berkah.
Maka mari kita merenung dengan baik, dan ketika pertanyaan-pertanyaan di awal tersebut muncul, marilah dengan yakin menjawabnya :
Apakah bulan Ramadhan merupakan suatu bulan yang istimewa?
Ya, tentu saja.
Kata siapa bulan Ramadhan adalah bulan yang istimewa?
Allah, Rasul, dan saya!
Dan kenapa disebut sebagai bulan yang istimewa?
Dan jawablah dengan yakin serta penuh perasaan berbunga-bunga bahwa karena kita bertemu bulan yang kita cintai dengan memberikan alasan cinta kita kepada bulan ini (alasan cinta kita kepada bulan Ramadhan ini bisa bermacam-macam, tergantung seperti dan sejauh apa kita mencintai bulan ini), serta dengan menyebutkan berbagai persiapan yang telah kita lakukan untuk menggapai cinta kita tersebut.
Marhaban Ya Ramadhan. Semoga di bulan Ramadhan ini kita bisa menjadi lebih baik lagi. (~jim)
Pa kbr JIM?
BalasHapus