- Back to Home »
- Islamic , Renungan , UNAS »
- Nasehat Untuk Peserta UN (Ujian Nasional)
Posted by : JIM
Rabu, April 17, 2013
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Kali ini saya mendapatkan sebuah pesan/ nasehat bagus nih dari blog sebelah, langsung share aja deh... hehe, belum dapat persetujuan sih boleh di share apa enggak...
Tapi, karena menurutku nih bermanfaat, langsung share aja, ntar kalau gak boleh ya langsung hapus deh postingan nih...
Oke, langsung saja.. eits.... sebelumnya, kalau biasanya sumber disebutin terakhir, tetapi karena nih pemilik blog rada kreatif [>_<], ya ku sebutin saja di awal, biar rada beda gitu.. ^_^
Sumber : Rohis Facebook
Seolah
telah menjadi satu konsekuensi, setiap orang yang belajar harus menempuh
ujian, Sebagai penentu apakah dia termasuk orang yang berhasil ataukah
seorang pecundang. Tidak hanya dalam masalah pelajaran dan pendidikan,
bahkan dalam masalah iman dan ketakwaan juga ada ujian. Allah akan
menguji setiap orang yang beriman, untuk membuktikan apakah orang
tersebut betul-betul beriman ataukah hanya sebatas pengakuan bahwa
dirinya beriman. Allah berfirman,
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ( ) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia mengira bahwa dirinya bebas untuk mengatakan “kami beriman” sementara mereka tidak diuji? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah mengetahui siapakah orang-orang yang jujur dalam imannya dan siapakah yang dusta dalam imannya.” (QS. Al-Ankabut 2-3)
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ( ) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia mengira bahwa dirinya bebas untuk mengatakan “kami beriman” sementara mereka tidak diuji? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah mengetahui siapakah orang-orang yang jujur dalam imannya dan siapakah yang dusta dalam imannya.” (QS. Al-Ankabut 2-3)
Bukti yang menentukan keberhasilan dan kegagalan seseorang bisa dilihat setelah dia menjalani ujian.
Musim UN
menjadi masa para siswa dalam karantina. Segala aktivitas kesehariannya
menjadi berubah. Yang dulunya sering bergadangan nonton bola dan
klayapan, masuk UN tiba-tiba jadi remaja soleh – slohihah. Ada yang
rajin tahajud, ada yang rutin puasa sunah, ada yang bernadzar, bahkan
ada yang mujahadahan. Berbagai upaya dikerjakan, demi mengejar prestasi
dan cita-cita. Detik-detik menegangkan, menentukan nasib setumpuk
harapan pribadi dan orang tua.
Untuk
itu, ada baiknya jika pada kesempatan yang singkat ini kita bahas
adab-adab yang selayaknya diperhatikan dalam ujian. Karena kita yakin
bahwa syariat islam adalah syariat yang paripurna, menjelaskan seluruh
permasalahan umat. Sebagaimana yang disebutkan dalam kisah dialog antara
Salman Al Farisi dengan orang kafir. Suatu ketika ada orang kafir yang
berkata kepada Salman dengan nada agak mengejek: “Hai Salman, benarkah
Nabimu mengajarimu semua hal sampai dalam masalah buang air..?” Salman
lantas menjawab dengan nada penuh bangga: “Iya, betul. Beliau mengajari
kami semua hal sampai dalam masalah buang air.” (Dikutip oleh Ibnul
Qoyyim dalam Hidayatul Hiyari hal. 99)
Adab-adab ketika ujian
Pertama, Berusaha disertai tawakkal
Inilah langkah awal yang selayaknya dilakukan oleh setiap yang mengharapkan keberhasilan. usaha merupakan modal pertama meraih kesuksesan. karena sukses tidaklah serta merta turun dari langit. perubahan hanya akan terjadi ketika orangnya mau berusaha untuk berubah. Allah berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’du: 11).
Pertama, Berusaha disertai tawakkal
Inilah langkah awal yang selayaknya dilakukan oleh setiap yang mengharapkan keberhasilan. usaha merupakan modal pertama meraih kesuksesan. karena sukses tidaklah serta merta turun dari langit. perubahan hanya akan terjadi ketika orangnya mau berusaha untuk berubah. Allah berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’du: 11).
Karena
itu, dalam islam tidak ada kamus tawakal tanpa usaha. Karena setiap
tawakal harus diawali usaha. Tawakal tanpa usaha diistilahkan dengan
tawaaakal (pura-pura tawakal).
Namun
ingat, juga jangan terlalu bersandar pada usaha dan kemampuan kita.
karena semuanya berada di bawah kehendak Sang Maha Kuasa. Sehebat apapun
usaha kita, jangan sampai membuat kita terlalu PD, sehingga mengesankan
tidak membutuhkan pertolongan Allah.
Allah menjanjikan, orang yang bertawakkal akan dicukupi oleh Allah. sebagaimana disebutkan dalam firmannya,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).” (QS. At-Thalaq: 3).
“Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).” (QS. At-Thalaq: 3).
Sebaliknya,
orang yang tidak bertawakkal maka dikhawatirkan akan diuji dengan
kegagalan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Abu Hurairah
radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bercerita: “Nabi Sulaiman pernah berikrar: “Malam ini aku akan menggilir
100 istriku. semuanya akan melahirkan seorang anak yang akan berjihad
di jalan Allah.” beliau mengucapkan demikian dan tidak mengatakan:
“InsyaaAllah”. Akhirnya tidak ada satupun yang melahirkan kecuali salah
satu dari istrinya yang melahirkan setengah manusia (baca: manusia
cacat). kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوِ اسْتَثْنَى، لَوُلِدَ لَهُ مِائَةُ غُلَامٍ كُلُّهُمْ يُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Andaikan Sulaiman mau mengucapkan InsyaaAllah niscaya akan terlahir 100 anak dan semuanya berjihad di jalan Allah.” (HR. Ahmad 7137 dan dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
“Andaikan Sulaiman mau mengucapkan InsyaaAllah niscaya akan terlahir 100 anak dan semuanya berjihad di jalan Allah.” (HR. Ahmad 7137 dan dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Siapa
kita dibanding Nabi Sulaiman ‘alaihis salam. Keinginan seorang Nabi yang
tidak disertai tawakkal ternyata bisa menui kegagalan.
Kedua, Hindari sebab yang tidak memenuhi syarat
Ada
sebagian orang yang ketika hendak ujian dia menempuh jalan pintas. Dia
menggunakan sebab yang bertolak belakang dengan syariat. Ada yang datang
ke orang pintar untuk minta perewangan. Ada yang makan kitab biar bisa
cepat hafal. Ada yang dzikir tengah malam dengan membaca ribuan wirid
yang tidak disyariatkan, dan seabreg trik lainnya untuk menggapai
sukses.
Perlu kita tanamkan dalam lubuk hati kita bahwa segala sesuatu itu bisa dijadikan sebagai sebab jika memenuhi dua kriteria:
Ada
hubungan sebab akibat yang terbukti secara ilmiyah. misalnya belajar dan
menghafal adalah sebab untuk mendapatkan pengetahuan.
jika
syarat pertama tidak terpenuhi maka harus ada syarat kedua, yaitu sebab
tersebut ditentukan oleh dalil. sehingga meskipun sebab tersebut tidak
terbukti secara ilmiyah memiliki hubungan dengan akibat namun selama ada
dalil maka boleh dijadikan sebagai sebab. contoh, meruqyah dengan
bacaan Al Qur’an untuk mengobati orang sakit. meskipun secara ilmiyah
tidak bisa dibuktikan secara ilmiyah apakah hubungan antara bacaan
Al-Qur’an dengan pengobatan, namun mengingat ada dalil yang menegaskan
hal tersebut maka itu bisa dijadikan sebagai sebab.
jika ada
sebab yang tidak memenuhi dua kriteria di atas maka menggunakan sebab
tersebut hukumnya syirik kecil. karena berarti dia telah berdusta atas
nama Allah. dia meyakini bahwa hal itu bisa dijadikan sebab padahal sama
sekali Allah tidak menjadikan hal itu sebagai sebab.
Dan jika
sebab yang ditempuh itu berupa amal, maka syaratnya harus ada dalilnya.
jika tidak, bisa jadi terjerumus ke dalam jurang dosa bid’ah.
Ketiga, Perbanyak Istighfar
Sesungguhnya salah satu sumber utama kegagalan yang terjadi pada manusia adalah dosa dan maksiat. Allah tegaskan,
وَجَزَاء سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا
“Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa..” (QS. As-Syura: 40)
Salah satu dampak buruk dosa adalah bisa menghalangi kelancaran rizki. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis,
إن الرجل ليحرم الرزق بالذنب يصيبه
Sesungguhnya seseorang terhalangi untuk mendapat rizki, disebabkan doa yang dia perbuat. (HR. Ahmad 22386 dan dihasankan Al-Albani).
Karena itu, agar kita terhindar dari dampak buruk perbuatan maksiat yang kita lakukan, perbanyaklah memohon ampunan kepada Allah. Perbanyak istighfar dalam setiap waktu yang memungkinkan untuk berdizkir. Kita berharap, dengan banyak istighfar, semoga Allah memberi ampunan dan memudahkan kita untuk mendapatkan apa yang diharapkan.
Dalam sebuah hadis dinyatakan,
مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا ، وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا ، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
Siapa yang membiasakan istigfar, Allah akan memberikan kelonggaran di setiap kesempitan, memberikan jalan keluar di setiap kebingungan, dan Allah berikan dia rizki dari arah yang tidak dia sangka. (HR. Abu Daud, Ibn Majah, Ahmad, Ad-Daruquthni, al-baihaqi dan yang lainnya).
Hadis ini dinilai dhaif oleh sebagian ulama, hanya saja maknanya sejalan dengan perintah Allah di surat Hud:
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ
Perbanyaklah meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. (QS. Hud: 3)
Keempat, Banyak berdo’a
Perbanyaklah berdo’a kepada Allah. Meminta segala hal yang kita butuhkan. Baik dalam urusan akhirat maupun dunia. Karena semakin sering mengetuk pintu maka semakin besar peluang untuk dibuka-kan pintu tersebut. Semakin sering kita berdo’a, semakin besar peluang untuk dikabulkan. Namun perlu diingat, jangan suka minta dido’akan orang lain. Karena berdo’a sendiri itu lebih berpeluang untuk dikabulkan dari pada harus melalui orang lain. Lebih-lebih di saat kita sedang membutuhkan pertolongan. Akan ada perasaan berharap yang lebih besar bila dibandingkan dengan do’a yang diwakilkan orang lain. Disamping itu, berdo’a sendiri lebih menunjukkan ketergantungan kita kepada Allah secara langsung. Dan kita melepaskan diri dari ketergantungan pada orang lain.
Kelima, Pegang Prinsip Kejujuran dan Hindari bentuk penipuan
Pernahkah kita menyadari bahwa plagiat dan mencontek ketika ujian termasuk bentuk penipuan. Adakah diantara kita yang sadar bahwa melakukan pelanggaran dalam ujian termasuk bentuk kedustaan. Pernahkah kita merasa bahwa hal itu membawa konsekuensi dosa. mungkin ada diantara kita yang beranggapan kalo itu tak ada hubungannya dengan agama. Ini lain urusan antara UN dengan agama. tak ada kaitannya dengan urusan akhirat.
Perlu kita sadari bahwa apapun bentuk pelanggaran yang kita lakukan ketika ujian, baik itu bentuknya mencontek, plagiat, catatan, pemalsuan data dan pelanggaran lainnya, hukumnya haram dan dosa besar. Tinjauannya:
1. Perbuatan itu terhitung sebagai bentuk penipuan. karena orang yang melihat nilai kita beranggapan bahwa itu murni usaha kita yang dilakukan dengan jujur dan sportif. padahal hakekatnya itu adalah hasil kerja gabungan, kerja kita dan teman-teman sekitar kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang menipu kami maka bukan termasuk golongan kami.” (HR. Muslim).
Imam
Ibnu Utsaimin menjelaskan bahwa perbuatan menipu ini termasuk dosa
besar. karena diancam dengan kalimat: “bukan termasuk golongan kami”.
(lihat Syarh Riyadhus Sholihin Syarh hadis Bab: Banyaknya jalan menuju
kebaikan).
Komite tetap tim fatwa Saudi pernah ditanya tentang masalah pelanggaran ketika ujian. Mereka menjawab: “Menipu dalam ujian pembelajaran atau yang lainnya itu haram. Orang yang melakukannya termasuk pelaku salah satu dosa besar.
Komite tetap tim fatwa Saudi pernah ditanya tentang masalah pelanggaran ketika ujian. Mereka menjawab: “Menipu dalam ujian pembelajaran atau yang lainnya itu haram. Orang yang melakukannya termasuk pelaku salah satu dosa besar.
2. Perbuatan ini termasuk diantara sifat orang yang diancam dengan adzab.
Allah berfirman, yang artinya:
وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ
“…dan mereka yang suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari adzab…” (QS. Ali Imran: 188).
وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ
“…dan mereka yang suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari adzab…” (QS. Ali Imran: 188).
Kita
yakin, orang yang suka melakukan pelanggaran ketika ujian pasti tidak
lepas dari tujuan mencari nilai bagus. Disadari maupun tidak, ketika ada
orang yang memuji nilai UN yang kita peroleh pasti akan ada perasaan
bangga dalam diri kita. Meskipun kita yakin betul kalo itu bukan murni
kerja kita. Oleh karena itu, bagi yang punya kebiasaan demikian,
segeralah bertaqwa kepada Allah. Mudah-mudahan kita tidak digolongkan
seperti ayat di atas.
3. Perbuatan semacam tergolong sebagai orang yang mengenakan pakaian kedustaan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لم يعط كلابس ثوب زور
“Orang yang merasa bangga dengan apa yang tidak dia dapatkan maka seolah dia memakai dua pakaian kedustaan.” (HR. Ahmad & Al Bukhari dalam Adabul Mufrad dan dishahihkan Al Albani).
إِنَّ الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لم يعط كلابس ثوب زور
“Orang yang merasa bangga dengan apa yang tidak dia dapatkan maka seolah dia memakai dua pakaian kedustaan.” (HR. Ahmad & Al Bukhari dalam Adabul Mufrad dan dishahihkan Al Albani).
Dijelaskan
oleh An Nawawi bahwa yang dimaksud “Orang yang merasa bangga dengan apa
yang tidak dia dapatkan” adalah orang yang menampakkan bahwa dirinya
telah mendapatkan keutamaan padahal aslinya dia tidak mendapatkannya.
(lih. Faidhul Qodir 6/338).
Orang
semacam ini termasuk orang yang menipu orang lain. Dia menampakkan
seolah dirinya orang pinter, nilainya-nya bagus, padahal aslinya….
Ujian
adalah amanah untuk dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Sebagai muslim
yang baik, selayaknya kita jaga amanah ini dengan baik. Amanah ilmiah
yang selayaknya kita tunaikan dengan penuh tanggung jawab. Karena itulah
yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan. Bukan jaminan orang yang
nilai UN-nya baik, pasti mendapatkan peluang hidup yang lebih nyaman.
Ingat, kedustaan dan kecurangan akan mengundang kita untuk melakukan
kedustaan berikutnya, dalam rangka menutupi kedustaan sebelumnya. Dan
bisa jadi itu terjadi secara terus-menerus. Berbeda dengan kejujuran,
dia akan mengantarkan pada ketenangan, dan selanjutnya mengantarkan pada
jalan kebaikan dan surga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى البِرِّ، وَإِنَّ البِرَّ يَهْدِي إِلَى
الجَنَّةِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا.
وَإِنَّ الكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الفُجُورِ، وَإِنَّ الفُجُورَ يَهْدِي
إِلَى النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ
اللَّهِ كَذَّابًا
Sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim no. 2607)
Sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim no. 2607)
Diringakas dari: